Ketika putus pacaran, hati seseorang terluka. Perasaan benci dan dendam pun tak terhindarkan. Pihak yang disakiti merasa sangat terluka, tersakiti oleh sang kekasih. Hidup terasa mati. Makan dan minum tidak teratur, malas mandi, bangun tidur terlambat, mata bengkak karena terus-terusan menangis, kesehatan terganggu, dan bahkan putus asa. Karena itu, tidak heran banyak pasangan remaja yang memilih jalan yang buntu, yaitu berusaha mengakhiri hidupnya dengan berbagai cara. Ada yang minum racun, menjatuhkan diri dari tempat tinggi, gantung diri dan sebagainya. Teragis sekali. Sekalipun, ada juga yang memilih jalan yang lain, yang lebih dewasa dan lebih bijaksana. Karena ia melihat, bahwa ada banyak jalan menuju kebahagiaan. Namun tidak semua orang dapat melihatnya, terutama mereka yang cepat putus asa (harapan).
Dalam kasus yang lain, yaitu kisah persahabatan tiga wanita cantik, anggun, baik, dan selalu tersenyum ramah ketika bertemu dengan orang lain. Bahkan tertawa terbahak-bahak saat bersenda gurau dengan para sahabatnya. Pertama kali saya mengenal mereka bertiga, saya pikir mereka orang yang dingin, tidak bisa diajak bercanda, dan bawaannya selalu serius. Tetapi anggapan saya itu ternyata keliru. Sangat menyenangkan sekali. Sungguh, keakraban yang mulia, tulus dan bersahaja. Seiring berjalannya waktu, saya semakin mengenal mereka sebagai pekerja tangguh, tanpa mengenal lelah demi sebuah kualitas terbaik, yang selalu mereka persembahkan sebagai persembahan mulia bagi anak-anak didik dan orang lain. Dalam hal itu saya mengajungkan dua jempol atas kualitas terbaik yang mereka persembahkan.
Jika saya bandingkan hasil kinerja mereka di kantor dengan hasil kinerja para politikus dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, maka jujur saya akui tidak ada bandingannya. Artinya, kualitas yang mereka berikan kepada anak-anak didiknya dan orang lain tak tertandingi oleh mereka yang duduk di kursi DPR. Semangat yang luar biasa, visi yang nyata dan terbukti. Itulah yang saya lihat dari persahabatan tiga wanita cantik, anggun, baik, dan bersahaja di meja kerja. Namun demikian, ada satu hal yang mereka abaikan, yaitu mereka tidak dapat mengontrol dan mengendalikan emosi dengan baik. Ketiganya sama-sama memiliki tempramen yang kerasnya. Ketiganya sangat mudah terpancing emosi.
Dalam kurun waktu singkat memang, mereka masih bisa saling bermemaaf-maafkankan, dan saling introspeksi diri satu sama lain. Tetapi sesabar-sabarnya manusia pasti ada limit atau batasannya. Itulah sebabnya kisah persahabatan tiga wanita cantik, anggun, baik dan bersahaja, yang selama ini saya kenal bisa hancur dan diakhiri dengan sakit hati, kebencian dan perasaan dendam. Saya sendiri masih samar-samar untuk memahami permasalahan yang membuat persahabatan itu hancur berantakan. Karena saya sangat dekat dengan mereka bertiga, maka saya disuruh untuk jadi penengah, untuk mengkalrifikasi dan mencari titik temu supaya terjalin hubungan yang harmonis kembali. Pada saat saya mencoba mendengarkan curahan hati mereka, ketiganya tetap tidak dapat mengontrol emosi. Bahkan, salah satu dari teman saya itu langsung menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dan mengatakan: saya berterima kasih karena kamu telah merubah saya, tetapi cukuplah sampai di sini. Saya sendiri jadi bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa, karena setelah itu ia langsung keluar dari ruangan. Yang seorang lagi juga terpancing emosi dan langsung pergi juga.
Dalam pertemuan itu, tidak ada benang merah dan titik temunya, yang ada hanya masalahnya semakin rumit seperti benang kusut. Dalam hati saya bertanya, sampai kapan mereka harus hidup dengan sakit hati, benci dan bahkan dendam yang mereka bawa? Apakah itu jalan terbaik ? Tetapi itulah jalan yang sering dipilih manusia saat mengalami masalah dengan sesamanya atau pada saat merasa sudah tidak ada jalan keluarnya. Saya sangat prihatin dengan kejadian itu. Mereka yang selama ini saya kenal sebagai manusia super power (kuat) dalam bekerja, tetapi tidak dalam hal emosi. Saya kira inilah yang sering dianggap remeh oleh banyak orang di dunia. Mereka sering mengabaikan kecerdasan emosional, yang sebenarnya dapat mengantarkan mereka pada kebahagiaan, keharmonisan dan kesuksesan hidup. Karena sebenarnya, pengendalian emosional yang baik adalah sangat menentukan kualitas, kesuksesan, keberhasilan dan kebahagiaan seseorang.
Aristoteles pernah mengatakan demikian: “Siapapun bisa marah. Marah itu mudah.Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah.” (lihat, Aristoteles, The Nicomachean Ethics). Artinya, betapa sulitnya kita duduk dan berdiri pada posisi yang tepat, dengan tujuan yang benar, baik dan mulia. Tetapi setidaknya, kita mau belajar setahap demi setahap dari setiap permasalahan yang kita hadapi untuk mencapai kualitas hidup yang teruji. Sakit hati, kebencian dan dendam adalah jalan terburuk yang sering dipilih oleh banyak orang saat mengalami masalah dalam kehidupannya. Padahal ia sendiri tahu, bahwa hidup bersama dengan rasa sakit hati, kebencian dan dendam hanya akan menyiksa diri sendiri. mengapa? Karena semakin kita membenci orang yang telah menyakiti dan melukai hati kita, maka semakin kita tidak dapat melupakannya. Kita akan terus mengingat dan membayangkannya. Itulah yang saya sebut dengan menyiksa diri sendiri. Tetapi mengapa banyak orang lebih suka memilih jalan itu, dibandingkan jalan damai.
Apakah Anda mampu dengan cinta yang tulus menerima keberadaan orang lain, yang telah membuat Anda kecewa, sakit hati, tersakiti karena ketidaksempurnaannya? Dapatkan Anda memaafkan dan mencintai orang-orang yang ada di sekeliling Anda, sekalipun mereka sudah menusukan duri di hati Anda karena mereka juga tidak sempurna? Tetapi setidaknya kita menyadari, bahwa memaafkan seseorang yang telah menyakiti kita adalah cara satu-satunya yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap orang.
Sakit hati, benci dan dendam adalah jalan yang tidak membawa kebaikan dalam hidup setiap orang. Bahkan satu detik pun kehidupan tidak diperpanjangnya. Tetapi justru, akan membuat hidup kita menderita, berpikir terus-menerus tentang tentang seseorang yang kita benci, tenaga terkuras, badan kurus dan terasa lemah, kepala pusing, muka cemberut sehingga cepat tua dan batinnya tersiksa. Sebaliknya, jalan damai, yaitu mengampuni dan menerima seseorang sebagai pribadi yang utuh akan membuat hati kita tenang, gembira atau ceria dan tetap memancarkan senyuman yang tulus, yaitu seperti kita tersenyum kepada Tuhan yang sangat mengasihi kita. Untuk dapat mengampuni orang yang telah menyakiti dan melukai kita dibutuhkan kecerdasan emosi (mengelola emosi secara bijaksana).
Orang yang memiliki kecerdasan emosi adalah orang dapat memahami orang lain dengan baik dan membuat keputusan dengan bijaksana. Lebih dari itu, kecerdasan ini erat hubungannya dengan bagaimana seseorang dapat mengaplikasikan apa yang telahia pelajari tentang kebahagiaan, mencintai dan berinteraksi dengan sesamanya. Ia pun tahu tujuan hidupnya, dan akan bertanggung jawab dalam segala hal yang terjadi dalam hidupnya sebagai bukti tingginya kecerdasan emosi yang dimilikinya. Dengan kata lain, itulah cinta yang tulus, ikhlas dan murni.
Jika kita mencintai atau mengasihi seseorang dengan hati yang tulus, sudah tentu (pastilah) kita tidak melihat kekurangan, ketidaksempurnaan, dan kelemahannya. Karena cinta yang tidak tulus itulah yang membawa kita kepada penghakiman dan menyudutkan keberadaan orang dari pandangan kita. Cinta yang tulus itu tidak menuntut kesempurnaan, melainkan menerima ketidaksempurnaan itu apa adanya. Dengan cara penerimaan mereka apa adanya itulah, seseorang akan menjadi pribadi yang jauh lebih baik dan kuat dari pribadi yang lain. Karena itu, maafkanlah orang yang telah menyakiti dan melikai hati Anda, jika menurut Anda dia tidak sempurna dan tidak pantas.
Artikel Terkait: