Thailand menawarkan rupa-rupa wisata. Dari yang religius seperti ziarah pemeluk Buddha ke kuil-kuil tua di kawasan Chao Pharaya, sampai gempita hiburan malam di sudut-sudut remang kota Pattaya. Atraksi binatang pasti mengasyikkan untuk keluarga. Bagaimana dengan show manusia, yang suguhannya sungguh tak biasa?
SABTU pagi yang cerah di Bangkok. Setelah tidur nyenyak di ketinggian lantai 46 Hotel Baiyoke Sky, kemudian sarapan pagi di lantai 78, saya bersama dua rekan, Ogi Fajar Nuzuli dan Fitri Zamzam langsung meluncur ke kawasan Grand Palace, istana besar Raja Thailand yang melegenda.
Tetapi mengingat waktu tak cukup leluasa karena harus segera menuju Pattaya, kami hanya melihat-lihat dari luar pagar istana, lalu menyeberang ke Wat Pho, kuil tua tempat patung Buddha raksasa yang lokasinya persis berseberangan dengan istana raja. The Temple of the Reclining Buddha ini juga biasa disebut Sleeping Buddha, karena posisi Buddha yang berbaring dengan tangan menyangga kepala.
Seperti halnya Grand Palace, di Wat Pho pengunjung membeludak. Hawa panas kota Bangkok tak mengurungkan niat wisatawan menikmati situs sejarah penting bagi umat Buddha tersebut. Dibangun tahun 1788, Wat Pho bukan saja tempat tujuan wisata penting di Thailand, tetapi juga pusat berbagai kegiatan agama Buddha.
Meski terbuka bagi orang asing yang bukan pemeluk Buddha, pengelola Wat Pho tetap memberlakukan aturan: tidak boleh bercelana pendek ketika di dalam kuil, harus melepas alas kaki, dan tidak berisik. Arus pengunjung dibuat memutar, masuk dari arah kepala Buddha, menyusuri bangunan kuil sampai di bagian kaki, lalu berbalik arah. Di ujung dekat pintu keluar, diletakkan berjejer wadah dari tembaga, berbentuk seperti kendi, tempat pengunjung memasukkan koin keberuntungan. Semangkuk koin dibeli seharga 20 baht.
Wat Pho hanyalah satu dari sekian banyak pilihan tempat yang bisa dikunjungi di Bangkok. Tempat semacam ini cocok untuk wisata keluarga, atau wisata sejarah dan pendidikan bagi siswa-siswa sekolah yang sedang studi banding. Di luar itu, ada beragam pilihan; dari yang terang sampai gelap, putih sampai hitam.
Itulah yang akhirnya kami temukan di Pattaya. Setelah setengah hari berkeliling Bangkok, kami meluncur ke kota pantai di pinggir Teluk Thailand itu. Melaju dengan Volvo sewaan di highway selebar landasan pacu pesawat, tidur pulas sepanjang perjalanan, dan terbangun setelah tiba di halaman Hotel Royal Century Pattaya. Beres urusan check in, kami langsung menuju pantai untuk mencari makan siang.
Suasana Pattaya mirip Bali, tapi tak semeriah Pulau Dewata. Dari tempat kami berdiri di Central Beach Pattaya, hanya tampak beberapa turis berjemur, memandang ke pantai berpasir warna kelabu. Ada orang-orang yang sedang main jet ski, tak terlihat yang bermain papan selancar (surfing) karena ombak tak cukup tinggi. Memang, panjang garis pantainya mungkin dua kali pantai Kuta. Tetapi, mungkin bisa subjektif juga, saya merasa Bali masih lebih istimewa.
Sorenya, boleh jadi karena kelelahan, kami mengurung diri di kamar hotel saja, tidur sampai tengah malam. Terjaga pukul 23.30 dan baru sadar kami sedang berada di Pattaya, yang kerap disebut pusat hiburan malam Asia, pada sebuah malam Minggu yang syahdu. “Ayo jalan. Ini malam Minggu, dan kita sedang di Pattaya,” kata saya.
Maka, kami pun bergegas. Hal pertama yang ingin kami lakukan adalah mencari makan malam. Hotel tempat kami menginap berada di pusat keramaian. Malam itu, jalanan kota Pattaya masih sangat padat. Pesta seperti baru sedang dimulai. Dentuman musik menggema dari lorong-lorong bar dan kafe. Wanita-wanita berpakaian seksi lalu-lalang. Mulai tercium aroma kemesuman; aliran bir dan wine, celetukan genit gadis-gadis penjaja cinta, tegur sapa orang-orang berbahasa lokal yang sulit dimengerti tapi bisa dengan mudah dipahami maksudnya.
Kami berhenti di sebuah kedai, satu-satunya tempat yang terang benderang di tengah keremangan pub dan bar di sekeliling. Saya memesan sup tom yam, khas Thailand, Fitri Zamzam makan stik daging sapi dengan kentang goreng crispy, sementara Ogi melahap sandwich isi tuna. Di tengah dinner yang ditingkahi kebisingan musik dari pub di sekitar itu, kami bertiga membincangkan suasana hiburan malam Pattaya yang ternyata lebih cenderung mengarah pada wisata syahwat itu.
“Ini namanya prostitusi di tengah kota,” kata Ogi.
Kami akhirnya menuntaskan makan malam itu dengan sebuah kesimpulan: Pattaya menawarkan wisata syahwat untuk menarik wisatawan, namun faktanya wanita pekerja seks berkeliaran lebih banyak daripada tamu yang datang. Entah memang sedang sepi, atau wisata model ini sudah kurang diminati.
Kami kemudian berjalan berkeliling, menyusuri lorong-lorong lokasi hiburan, dari arena biliar, live music, hingga panggung joget. Sampai terhenti di sebuah tempat di mana dua orang berkemeja rapi dan dasi kupu-kupu mencegat kami. “Lady show, just one hundred baht,” kata salah seorang di antara mereka. Di tangannya ada brosur bergambar siluet tubuh perempuan tanpa busana. Di pintu masuk tertempel gambar larangan memotret dan larangan anak di bawah umur untuk masuk.
Seratus baht! Hanya Rp30 ribu bila dirupiahkan. Harga yang terlalu murah untuk hiburan di mana pengunjung bisa menyaksikan para penari wanita tanpa busana melenggak-lenggok. Kami minta izin menengok sebentar ke dalam, sekadar hendak memastikan bahwa hiburan model ini memang benar-benar ada. Dan, ternyata memang benar-benar ada! Para pria berdasi kupu-kupu itu tidak sedang bercanda, apalagi berbohong. Beberapa wanita tampak menari erotis dengan tubuh yang telanjang, di tengah tatapan mata sejumlah pria. Setelah proses “numpang menengok” itu, Ogi memberi kode agar kami berlalu.
Pengalaman malam itu membuat kami terkekeh dan saling menertawakan saat perjalanan pulang menuju hotel. Bagaimana mungkin manusia menyaksikan manusia lain dalam keadaan seperti itu. Lebih gila lagi, ada pula tawaran live show persenggamaan: dengan 8 ribu baht (lebih kurang Rp2,5 juta), pengunjung bisa menyaksikan aksi hubungan seksual sepasang manusia. Benar-benar show manusia dalam pengertian sesungguhnya. Selain membayar sejumlah uang, syaratnya hanya ada dua: tidak boleh memotret dan sudah berumur lebih 18 tahun.
Ini bertolak belakang dengan apa yang kami saksikan keesokan harinya. Di sebuah taman botani yang asri, ada harimau, orangutan, macan, juga gajah yang jinak-jinak dan bisa diajak foto bareng. Di taman itu pula kami menyaksikan atraksi gajah yang unik-unik. Binatang berbelalai dengan tubuh raksasa itu bermain bola kaki, bola basket, bowling, juga melukis dan berjoget. Gajah-gajah itu juga menampilkan atraksi melangkahi tubuh para tamu (dan semua selamat tanpa ada yang terinjak), menggendong dengan belalai, dan memijat.
Lantas, yang membuat kami geleng-geleng kepala adalah fakta ini: gajah-gajah itu diberi pakaian lengkap, menutupi “aurat” mereka. Sungguh pelajaran berharga dari kaum binatang yang mestinya disadari para cewek penari telanjang semalam. Bila untuk menyaksikan wanita-wanita telanjang di tempat hiburan malam cukup dengan 100 baht per orang, maka gajah-gajah itu justru jual mahal; untuk tiket terusan masuk taman botani dan include biaya transport dari hotel, kami harus merogoh kocek 650 baht per orang.